7 Cara HR Mempertahankan Karyawan yang Ingin Resign

Ditulis oleh
Ditinjau oleh
People Operations Associate at KitaLulus

Lulusan Psikologi Atma Jaya dengan keahlian HR, pengujian psikologi, dan rekrutmen. Berhasil mengelola 50+ posisi dengan tingkat keberhasilan 85% dan mengembangkan sistem asesmen yang meningkatkan akurasi seleksi kandidat 30%.

Cara mempertahankan karyawan yang ingin resign
7 Cara HR Mempertahankan Karyawan yang Ingin Resign

Resign atau pengunduran diri memang hal yang wajar dalam dunia kerja. Tapi bukan berarti, Anda sebagai HR tidak bisa mempertahankan karyawan tersebut. Apalagi jika mereka punya performa kerja di atas rata-rata.

Mengutip dari People Keep, beberapa penelitian memperkirakan biaya penggantian karyawan dapat berkisar antara antara enam hingga sembilan bulan dari gaji rata-rata mereka.

Jika Anda tidak ingin mengeluarkan biaya sebesar itu, maka Anda bisa simak cara mempertahankan karyawan yang ingin resign di artikel berikut.

Seberapa Pentingkah Mempertahankan Karyawan yang Baik?

Pentingnya mempertahankan karyawan yang baik

Sebagai profesional HR, Anda pasti mengalami dilema dan kekhawatiran ketika menerima surat pengunduran diri dari karyawan, terutama yang berkinerja baik. 

Meskipun turnover merupakan fenomena alamiah dalam siklus ketenagakerjaan, pertanyaan yang sering muncul adalah seberapa krusial upaya mempertahankan talenta berkualitas dalam organisasi.

1. Dampak Signifikan Turnover Tinggi

Berbagai penelitian komprehensif telah membuktikan bahwa tingkat pergantian karyawan yang tinggi berdampak negatif signifikan terhadap berbagai aspek bisnis. Perusahaan dengan tingkat turnover tinggi umumnya mengalami gangguan serius pada:

  • Efisiensi operasional karena proses transfer pengetahuan yang tidak optimal
  • Produktivitas tim yang menurun selama masa transisi
  • Profitabilitas yang terkikis akibat biaya rekrutmen dan pelatihan
  • Dinamika inovasi yang terhambat karena hilangnya pemikiran kreatif

2. Kerugian Material yang Substansial

Yang lebih mengkhawatirkan, kehilangan karyawan berpotensi tinggi ternyata menimbulkan konsekuensi finansial yang jauh lebih besar dari yang dibayangkan. Studi menunjukkan bahwa total biaya penggantian karyawan dapat berkisar antara 100% hingga 150% dari gaji tahunan mereka untuk posisi teknis, bahkan hingga 213% untuk posisi eksekutif tingkat tinggi. Biaya tersebut mencakup:

  • Proses rekrutmen dan seleksi kandidat baru
  • Pelatihan dan onboarding
  • Produktivitas yang hilang selama masa transisi
  • Kurva pembelajaran karyawan baru
  • Pengetahuan institusional yang hilang
  • Potensi dampak pada moral tim dan budaya perusahaan

Angka ini menggambarkan betapa mempertahankan karyawan berkualitas bukan sekadar masalah kenyamanan operasional, tetapi merupakan keputusan bisnis yang memiliki implikasi finansial signifikan.

3. Strategi Retensi Berbasis Analisis

Sebagai praktisi HR strategis, tugas Anda tidak hanya mengelola proses keluar-masuk karyawan, tetapi juga mengidentifikasi akar permasalahan di balik keputusan pengunduran diri. Pendekatan proaktif yang direkomendasikan meliputi:

  1. Melakukan exit interview mendalam untuk memahami alasan sebenarnya di balik pengunduran diri
  2. Menganalisis pola turnover untuk mengidentifikasi tren atau faktor risiko tertentu
  3. Mengevaluasi data engagement survey untuk mendeteksi area ketidakpuasan
  4. Berkonsultasi dengan manajer lini terkait dinamika tim dan tantangan yang dihadapi

Berdasarkan temuan analisis tersebut, HR dapat merekomendasikan dan mengimplementasikan perbaikan sistematis yang mengatasi masalah mendasar, bukan sekadar solusi sementara.

4. Investasi Jangka Panjang

Mempertahankan karyawan berkualitas adalah investasi strategis dalam keberlanjutan dan pertumbuhan perusahaan. Selain menghemat biaya signifikan, karyawan berpengalaman yang loyal membawa nilai tambah berupa:

  • Pengetahuan institusional yang mendalam
  • Jaringan relasi internal dan eksternal yang kuat
  • Kemampuan mentoring untuk karyawan junior
  • Pemahaman nuansa bisnis yang tidak tertulis
  • Komitmen terhadap visi dan misi perusahaan

BACA JUGA: HR Harus Tahu, Ini 4 Cara Mengatasi Konflik Dalam Kantor

Strategi Mempertahankan Karyawan yang Ingin Resign

Strategi mempertahankan karyawan yang ingin resign

Tahukah Anda bahwa mempertahankan karyawan berkinerja tinggi memiliki pengaruh signifikan terhadap kesuksesan perusahaan? Fluktuasi talenta yang tinggi tidak hanya berdampak pada produktivitas, tetapi juga pada stabilitas organisasi secara keseluruhan.

Berikut adalah tujuh strategi efektif yang dapat HR implementasikan untuk mempertahankan karyawan potensial yang menunjukkan indikasi akan mengundurkan diri:

1. Bangun Budaya Perusahaan dengan Kuat

Fondasi retensi karyawan yang paling kokoh adalah budaya perusahaan yang inklusif dan berdaya. Budaya perusahaan tidak hanya membentuk dinamika kerja sehari-hari, tetapi juga menanamkan nilai-nilai yang menjadi kompas moral dan profesional bagi seluruh karyawan. Interaksi antara karyawan dan perusahaan yang harmonis menciptakan ikatan yang sulit diputuskan.

Elemen krusial dalam membangun budaya perusahaan yang kuat adalah keterlibatan aktif karyawan dalam berbagai inisiatif organisasi. Sebagai profesional HR, penting untuk mengadopsi pendekatan “employee-first” dan mengkomunikasikan visi perusahaan dengan jelas dan inspiratif. 

Penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan aktivitas strategis akan merasa dihargai dan mengembangkan rasa memiliki yang kuat terhadap organisasi. Kondisi ini secara signifikan mempermudah upaya retensi karyawan berkualitas.

2. Menciptakan Lingkungan Kerja yang Menyenangkan

Lingkungan kerja yang tidak suportif telah terbukti menjadi salah satu faktor dominan yang mendorong keputusan pengunduran diri. Menciptakan atmosfer kerja yang positif dan kondusif menjadi strategi efektif dalam mempertahankan talenta terbaik.

Tekanan kerja yang berlebihan dan stres kronis tidak hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga berdampak negatif pada kesehatan mental karyawan. Konsekuensinya sangat nyata: proyek tertunda, kualitas kerja menurun, dan berkembangnya sentimen negatif terhadap pekerjaan. Sebagai praktisi HR proaktif, perlu dilakukan upaya sistematis untuk menciptakan lingkungan kerja yang seimbang antara tantangan dan dukungan.

Inisiatif seperti program well-being, ruang istirahat yang nyaman, aktivitas team building berkala, dan penerapan prinsip work-life balance dapat secara signifikan meningkatkan pengalaman kerja karyawan. Lingkungan yang menyenangkan bukan hanya tentang fasilitas fisik, tetapi juga tentang membangun interaksi positif dan menghargai kontribusi setiap individu.

3. Bersikap Transparan dan Biarkan Karyawan Berpendapat

Transparansi organisasi merupakan kunci membangun kepercayaan dengan karyawan. Keterbukaan mengenai kondisi perusahaan—baik saat menghadapi tantangan maupun mencapai keberhasilan—menunjukkan integritas manajemen dan menghargai kecerdasan kolektif tim.

Alih-alih menutupi situasi sulit yang dihadapi perusahaan dan menciptakan atmosfer ketidakpastian, pendekatan yang lebih efektif adalah meyakinkan karyawan bahwa mereka merupakan bagian integral dari solusi. Keterbukaan ini harus diimbangi dengan pemberian ruang bagi karyawan untuk menyuarakan pendapat dan ide mereka tanpa rasa takut.

Mekanisme seperti forum diskusi terbuka, survei anonim, atau sistem saran yang responsif dapat memfasilitasi aliran informasi dua arah. Karyawan yang merasa didengarkan dan dihargai kontribusi intelektualnya cenderung mengembangkan loyalitas yang lebih kuat terhadap organisasi. Budaya keterusterangan ini bukan hanya tentang berbagi informasi, tetapi juga tentang menghargai berbagai perspektif dalam pengambilan keputusan.

4. Dukung Pengembangan Karir Karyawan

Stagnasi karir sering menjadi motivator kuat bagi karyawan potensial untuk mencari peluang di tempat lain. Memfasilitasi jalur pengembangan karir yang jelas dan berkelanjutan merupakan strategi retensi yang sangat efektif.

Program pengembangan dapat mencakup beragam inisiatif: subsidi pendidikan lanjutan, pelatihan pengembangan keterampilan, program rotasi posisi, mentoring struktural, atau jalur promosi yang transparan. Karyawan modern mencari lebih dari sekadar kompensasi finansial—mereka menginginkan pertumbuhan profesional dan personal yang berkelanjutan.

Investasi dalam pengembangan karyawan menciptakan siklus positif: karyawan memperoleh keterampilan baru yang meningkatkan kontribusi mereka, sementara perusahaan mendapatkan tenaga kerja yang lebih kompeten dan loyal. Strategi ini tidak hanya efektif untuk mempertahankan talenta yang ada, tetapi juga menjadi daya tarik bagi kandidat berkualitas dalam proses rekrutmen.

5. Tawarkan Manfaat dan Benefit yang Kompetitif

Paket kompensasi yang komprehensif dan kompetitif tetap menjadi faktor penting dalam keputusan karyawan untuk bertahan. Namun, pendekatan modern terhadap benefit perlu melampaui sekadar gaji yang kompetitif.

Perusahaan progresif mengadopsi pendekatan holistik terhadap kesejahteraan karyawan melalui berbagai benefit: program makan siang gratis, fasilitas parkir, ruang istirahat yang nyaman, atau kebijakan kerja yang fleksibel. Implementasi kebijakan seperti jam kerja fleksibel, opsi remote working, atau dress code yang nyaman dapat secara signifikan meningkatkan pengalaman kerja sehari-hari.

Benefit kesehatan komprehensif—seperti kombinasi asuransi swasta dan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan—memberikan rasa aman yang vital bagi karyawan. Perusahaan terdepan juga mulai menawarkan benefit inovatif seperti program sabbatical, dukungan kesehatan mental, atau subsidi aktivitas wellness. Pendekatan personalisasi benefit yang memungkinkan karyawan memilih paket yang sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka semakin mendapatkan apresiasi.

6. Lakukan Wawancara 1-on-1

Komunikasi interpersonal yang intens melalui wawancara one-on-one antara manajer dan anggota tim merupakan alat diagnostik yang efektif untuk mengidentifikasi potensi masalah sebelum berkembang menjadi alasan pengunduran diri.

Sesi tatap muka ini memberikan platform untuk diskusi mendalam tentang motivasi, tantangan, aspirasi, dan kekhawatiran karyawan dalam lingkungan yang aman dan konfidensial. Meskipun tampak sederhana, pendekatan ini menyediakan wawasan berharga tentang dinamika internal organisasi dan faktor-faktor potensial yang dapat mendorong turnover.

Untuk efektivitas optimal, wawancara ini perlu dilakukan secara berkala—minimal tahunan, atau lebih sering jika terdeteksi penurunan engagement atau kinerja. Format standar dengan pertanyaan terbuka yang mendorong refleksi mendalam dapat membantu mengungkap isu yang mungkin tidak tertangkap dalam survei formal atau diskusi kelompok.

7. Sarankan Karyawan untuk Memikirkan Kembali Keputusannya

Ketika menghadapi karyawan yang telah menyampaikan niat untuk mengundurkan diri, respon pertama yang strategis adalah mengajak mereka merefleksikan keputusan tersebut sebelum finalisasi.

Alasan pengunduran diri sering berkaitan dengan ketidakcocokan budaya, konflik interpersonal, atau faktor situasional yang bersifat temporer. Dalam banyak kasus, keputusan resign dapat dipengaruhi oleh momen emosional yang jika diberikan waktu untuk menenangkan diri, karyawan mungkin mempertimbangkan kembali pilihan tersebut.

Sebagai praktisi HR yang perceptive, penting untuk menggali lebih dalam alasan sebenarnya di balik keinginan untuk mengundurkan diri dan menawarkan solusi konkret jika permasalahan masih dapat diatasi. Dalam beberapa kasus, solusinya bisa berupa rotasi departemen, perubahan supervisor, penyesuaian beban kerja, atau bahkan cuti panjang untuk refleksi.

Namun, penting juga untuk menghormati keputusan final karyawan jika mereka tetap berkeinginan untuk mengundurkan diri setelah pertimbangan matang. Proses pengunduran diri yang dikelola dengan profesional dan penuh penghargaan memastikan karyawan meninggalkan organisasi dengan kesan positif, yang berdampak pada reputasi employer brand perusahaan dalam jangka panjang.

Dalam beberapa kasus, karyawan yang sudah resign dapat menjadi sumber talenta berharga di masa depan. Pelajari strategi merekrut kembali mantan karyawan dan manfaatnya bagi organisasi.

Faktor yang Mempengaruhi Karyawan untuk Resign

Faktor penyebab karyawan resign

Sebelum menyetujui surat pengunduran diri dan memulai proses rekrutmen yang memakan waktu dan biaya, penting untuk melakukan investigasi mendalam mengenai akar permasalahan, terutama jika karyawan tersebut merupakan talenta dengan kinerja tinggi.

Pemahaman komprehensif tentang faktor-faktor pendorong turnover dapat membantu organisasi mengembangkan strategi retensi yang lebih efektif dan mencegah pengulangan pola yang sama di masa depan.

1. Keterbatasan Pengembangan Karir

Stagnasi karir menjadi salah satu motivator terkuat bagi karyawan untuk mencari peluang di tempat lain. Karyawan modern, terutama generasi milenial dan Z, menganggap pertumbuhan profesional sebagai komponen non-negotiable dalam kontrak psikologis mereka dengan perusahaan. Ketiadaan jalur pengembangan yang jelas, minimnya kesempatan pembelajaran, atau kurangnya visibilitas untuk promosi dapat mempercepat keputusan untuk mencari lingkungan yang lebih mendukung aspirasi karir mereka.

Organisasi progresif mengatasi masalah ini dengan menciptakan framework pengembangan yang transparan, dengan jalur kemajuan vertikal maupun horizontal yang jelas. Program rotasi posisi, proyek lintas departemen, dan kesempatan belajar berkelanjutan dapat secara signifikan meningkatkan retensi karyawan berpotensi tinggi.

2. Ketidakseimbangan Waktu Kerja

Jam kerja yang konsisten melebihi batas normal—baik secara formal maupun melalui ekspektasi implisit—berdampak serius pada kualitas hidup dan kesehatan mental karyawan. Budaya “always on” dimana karyawan diharapkan tetap responsif di luar jam kerja standar menciptakan burnout dan menurunkan engagement secara drastis.

Perusahaan dengan tingkat retensi tinggi menerapkan batasan jam kerja yang jelas, menghormati waktu istirahat karyawan, dan menciptakan mekanisme untuk mengelola beban kerja secara realistis. Kebijakan “right to disconnect” dan praktik manajemen yang menghargai efisiensi di atas presenteeism semakin mendapatkan apresiasi di kalangan tenaga kerja.

3. Kurangnya Pengakuan dan Apresiasi

Karyawan yang merasa kontribusinya tidak dihargai atau diakui akan mengalami penurunan motivasi intrinsik secara progresif. Kurangnya pengakuan, terutama dari atasan langsung, menciptakan persepsi bahwa upaya kerja keras tidak membuat perbedaan dalam organisasi.

Sistem pengakuan yang efektif perlu bersifat multidimensional—meliputi komponen finansial maupun non-finansial—dan konsisten dalam implementasinya. Pengakuan publik, feedback konstruktif yang tepat waktu, dan apresiasi yang dipersonalisasi memainkan peran penting dalam membangun ikatan emosional karyawan dengan organisasi.

4. Lingkungan Kerja yang Tidak Kondusif

Atmosfer kerja yang toksik atau tidak menyenangkan berdampak langsung pada kesehatan psikologis dan produktivitas karyawan. Indikator seperti komunikasi yang buruk, politik kantor yang intens, atau konflik interpersonal yang tidak terkelola menciptakan lingkungan yang mendorong keinginan untuk keluar.

Menciptakan lingkungan kerja yang positif membutuhkan pendekatan sistemik yang mencakup desain fisik ruang kerja, norma interaksi sosial, dan mekanisme resolusi konflik yang efektif. Kultur yang menghargai kolaborasi di atas kompetisi internal cenderung memiliki tingkat retensi yang lebih tinggi.

5. Infrastruktur dan Fasilitas Pendukung yang Tidak Memadai

Keterbatasan fasilitas dan infrastruktur pendukung dapat menjadi hambatan signifikan bagi karyawan untuk melaksanakan pekerjaannya secara optimal. Peralatan yang ketinggalan zaman, software yang tidak memadai, atau lingkungan fisik yang tidak nyaman menciptakan gesekan konstan yang menurunkan keterlibatan.

Investasi dalam infrastruktur kerja yang ergonomis dan teknologi yang up-to-date tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga menyampaikan pesan bahwa organisasi berkomitmen terhadap keberhasilan karyawannya. Dalam era kerja hybrid, dukungan infrastruktur untuk remote working menjadi sama pentingnya dengan fasilitas kantor fisik.

6. Budaya Perusahaan yang Tidak Suportif

Ketidakselarasan antara nilai-nilai personal karyawan dengan budaya organisasi menciptakan disonansi kognitif yang sulit diatasi dalam jangka panjang. Budaya yang terlalu hierarkis, tidak inklusif, atau tidak menghargai keberagaman perspektif akan mendorong talenta terbaik mencari lingkungan yang lebih selaras dengan prinsip-prinsip mereka.

Membangun budaya perusahaan yang autentik dan inklusif merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan komitmen dari seluruh level kepemimpinan. Organisasi perlu secara aktif mengartikulasikan nilai-nilai mereka dan memastikan bahwa perilaku kepemimpinan mencerminkan nilai-nilai tersebut.

7. Ketidakjelasan Visi dan Arah Strategis

Karyawan modern mencari makna dan purpose dalam pekerjaan mereka. Ketiadaan visi organisasi yang jelas atau ketidakmampuan untuk mengkomunikasikan bagaimana kontribusi individual berkontribusi pada tujuan kolektif menciptakan keterputusan yang signifikan.

Kepemimpinan yang efektif perlu secara konsisten mengkomunikasikan visi strategis organisasi dan membantu karyawan memahami bagaimana peran mereka berkontribusi pada visi tersebut. Narasi yang kuat tentang dampak organisasi dapat menjadi faktor retensi yang kuat, terutama bagi generasi yang berorientasi pada tujuan.

8. Ketidaksesuaian Beban Kerja dengan Kontrak

Ekspektasi yang tidak realistis atau beban kerja yang secara signifikan melebihi apa yang disepakati dalam kontrak kerja awal menciptakan perasaan dieksploitasi dan menurunkan trust. Job creep—penambahan tanggung jawab secara inkremental tanpa penyesuaian kompensasi atau pengakuan formal—menjadi red flag bagi karyawan potensial.

Transparansi dalam job description dan evaluasi berkala terhadap cakupan tanggung jawab dapat membantu menyelaraskan ekspektasi dan realitas. Organisasi perlu mengembangkan mekanisme untuk menyesuaikan beban kerja atau memberikan kompensasi yang sesuai ketika terjadi perubahan signifikan dalam peran.

9. Aspirasi Pengembangan Akademis

Keinginan untuk melanjutkan studi atau mengejar gelar akademis yang lebih tinggi merupakan faktor personal yang sering menjadi alasan pengunduran diri. Meskipun demikian, perusahaan progresif mengembangkan program yang memungkinkan karyawan mengejar aspirasi akademis sambil tetap berkontribusi pada organisasi.

Kebijakan seperti cuti studi, subsidi pendidikan, jadwal kerja fleksibel, atau bahkan program kerjasama dengan institusi akademis dapat membantu organisasi mempertahankan talenta potensial yang memiliki aspirasi akademis. Pendekatan ini menciptakan siklus positif dimana karyawan memperoleh pengetahuan baru yang pada gilirannya dapat diterapkan dalam organisasi.

10. Pertimbangan Keluarga

Faktor keluarga—seperti relokasi pasangan, tanggung jawab perawatan anak atau orang tua, atau kebutuhan untuk menyeimbangkan dinamika keluarga—sering menjadi alasan kuat dibalik keputusan pengunduran diri. Meskipun faktor ini tampak di luar kendali perusahaan, organisasi family-friendly dapat mengembangkan kebijakan yang mendukung karyawan dalam mengelola transisi personal ini.

Fleksibilitas dalam pengaturan kerja, opsi relokasi atau remote work, kebijakan cuti keluarga yang komprehensif, dan dukungan seperti childcare di tempat kerja dapat secara signifikan meningkatkan kemampuan karyawan untuk mengelola tanggung jawab profesional dan personal secara efektif.

Melakukan exit interview dengan tepat merupakan langkah penting untuk memahami akar masalah pengunduran diri karyawan. Pelajari cara melakukan exit interview yang efektif untuk mendapatkan insight berharga demi perbaikan organisasi.

Kesimpulan

Demikian penjelasan terkait cara mempertahankan karyawan yang ingin resign dan berbagai faktor penyebabnya. Jika Anda benar-benar tidak ingin kehilangan karyawan (terutama yang berkinerja tinggi), tidak ada salahnya menerapkan strategi mempertahankan karyawan seperti di atas ya!

  • Employee retention: The real cost of losing an employee, diakses pada 14 April 2025, https://www.peoplekeep.com/blog/employee-retention-the-real-cost-of-losing-an-employee
  • The True Costs of Employee Turnover, diakses pada 14 April 2025, https://builtin.com/recruiting/cost-of-turnover
Bagikan Artikel Ini:
Bagikan Artikel Ini: Share Tweet
To top