Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengabulkan gugatan UU Cipta Kerja pada akhir Oktober 2024 lalu, yang diajukan oleh kelompok buruh, mulai dari serikat buruh, partai buruh, serta dua orang buruh perorangan.
Dengan disahkannya beberapa pasal dalam gugatan, maka ada perbedaan dalam UU Cipta Kerja.
Nah, penting bagi kita semua terutama HR untuk tahu apa saja UU Cipta Kerja terbaru sesuai putusan MK. simak poin-poinnya dalam artikel KitaLulus berikut.
Alasan Pengajuan Gugatan Perubahan Isi UU Cipta Kerja
Sebelum kita membahas apa saja perubahan UU Cipta Kerja terbaru, mari bahas sedikit apa yang menjadi alasan kelompok buruh mengajukan gugatan terkait UU Ciptaker ke MK.
Gugatan terhadap UU Ciptaker diajukan karena banyak pasal di dalamnya yang merugikan pekerja dan melanggar prinsip keadilan sosial bagi buruh.
Di dalam gugatan ini yang difokuskan adalah poin pasal dalam klaster ketenagakerjaan seperti penghapusan upah rendah, outsourcing, kemudahan PHK, pesangon, PKWT, hak cuti, dan tenaga kerja asing.
Mengutip dari Antara.com menurut Presiden Partai Buruh, Saiq Iqbal, UU Ciptaker bisa merugikan hak-hak pekerja dan menimbulkan ketidakpastian bagi para buruh. Tidak hanya itu, sejumlah pasal pun berpotensi menurunkan kualitas hidup pekerja dan membuat mereka lebih rentan terhadap ketidakadilan.
Atas dasar itu, langkah hukum untuk melindungi kepentingan para pekerja perlu diambil.
Baca juga: Dampak Isi UU Omnibus Law Cipta Kerja
Isi UU Cipta Kerja Sebelum Revisi Putusan MK
UU Cipta Kerja memiliki beberapa perubahan dari UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003. Salah satu yang tidak berubah adalah terkait perhitungan THR.
Berikut beberapa isi UU Ciptaker yang berbeda dari UU Ketenagakerjaan.
1. Waktu Kerja
Ada beberapa poin baru terkait aturan waktu kerja dalam Ciptaker, yaitu:
A. Waktu Lembur
Pada UU sebelumnya, waktu lembur dibatasi paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu. Namun, di peraturan terbaru waktu lembur menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.
B. Hari Libur Mingguan
UU Ciptaker menetapkan bahwa hari libur bekerja mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja.
Ini berbeda dari UU Ketenagakerjaan di mana dalam Pasal 79 ayat 2 huruf b ada 2 pilihan, yaitu istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.
C. Istirahat Panjang
UU Ciptaker tidak mewajibkan perusahaan untuk memberikan istirahat panjang. Jadi, hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja/buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus tidak lagi diatur dalam UU, melainkan dikembalikan kepada kebijakan perusahaan.
D. Cuti Haid
Dalam Pasal 81 UU 13/2003 diatur bahwa pekerja wanita wajib mendapat cuti selama masa haid dan dibayar. Tapi di dalam UU Ciptaker belum dipastikan apakah pasal terkait cuti haid diubah atau dihilangkan.
E. Cuti Hamil-Melahirkan
Isi UU Ciptaker juga tidak mencantumkan cuti hamil dan melahirkan. Belum pasti pasal terkait ini diubah atau dihilangkan.
Sebelumnya terkait hal ini diatur dalam Pasal 82, di dalamnya termasuk cuti istirahat bagi pekerja/buruh wanita yang mengalami keguguran.
F. Hak Menyusui
Di dalam UU Ketenagakerjaan telah diatur bahwa pekerja/buruh perempuan yang memiliki anak masih menyusui diberikan kesempatan untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. Ini tertuang dalam Pasal 83.
Namun, di dalam Ciptaker belum pasti pasal terkait ini diubah atau dihilangkan.
2. Status Pekerja/Karyawan
Ciptaker menghapus ketentuan yang mengatur tentang syarat PKWT atau pekerja kontrak yang sebelumnya tercantum dalam UU Ketenagakerjaan.
Ini artinya pekerja bisa dikontrak tanpa batas.
Padahal dalam UU 13/2003 Pasal 59 yang dihapus telah mengatur batas maksimal perjanjian PKWT maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun.
Baca juga: Ketahui Hak Karyawan Kontrak yang Tidak Diperpanjang
3. Upah
Aturan mengenai pengupahan dalam UU Cipta Kerja diubah menjadi 7 kebijakan, yaitu:
- Upah minimum
- Struktur dan skala upah
- Upah kerja lembur
- Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu
- Bentuk dan cara pembayaran upah
- Hal-hal lain yang dapat diperhitungkan dengan upah
- Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya
Sebelumnya ketentuan terkait upah yang diatur dalam Pasal 88 ayat 3 UU Ketenagakerjaan mengandung 11 ketentuan.
4. Penghapusan Upah Minimum bagi UMKM
UU Cipta Kerja mengecualikan pemberian upah minimum bagi pengusaha mikro dan kecil. Sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 90B UU Ciptaker. Berdasarkan pasal tersebut, upah karyawan UMKM tergantung kesepakatan pemberi kerja dan karyawan.
5. Pesangon
UU Cipta Kerja tentang pesangon juga mengalami perubahan dari UU Ketenagakerjaan, yaitu sebagai berikut:
A. Uang Pengganti Hak
Jika dalam UU Ketenagakerjaan terdapat Pasal 154 ayat 4 yang mengatur uang pengganti. Namun, di dalam UU Ciptaker hal ini tidak ada.
B. Uang Penghargaan Masa Kerja
Tidak ada uang penghargaan masa kerja 24 tahun dalam UU Cipta Kerja.
Sebelumnya, uang penghargaan masa kerja ini diatur dalam Pasal 156 ayat 3 UU No.13/2003, di sana tertulis bahwa pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 24 tahun atau lebih menerima penghargaan sebanyak 10 bulan upah.
C. Uang Pesangon
Ada beberapa perbedaan terkait pemberian uang pesangon dalam UU Ciptaker, sebagai berikut:
- Pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan tidak mendapatkan uang pesangon.
- Perusahaan tidak memberikan pesangon kepada pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan.
- Tidak ada pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan mengalami kerugian selama 2 tahun dan pailit.
- Ahli waris atau keluarga tidak mendapatkan santunan berupa pesangon jika pekerja/buruh meninggal.
- Pekerja yang di PHK karena akan memasuki usia pensiun tidak ada uang pesangon.
Perhitungan pesangon mengundurkan diri UU Cipta Kerja juga sudah diatur. Dikatakan dalam Perpu Nomor 2 tahun 2022 bahwa karyawan resign tidak mendapatkan pesangon.
Tapi mendapatkan uang pengganti hak yang terdiri dari cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur serta biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya, serta uang pisah yang nominalnya diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan.
Baca Juga: Apa Itu PMTK: Pengertian, Aturan Terbaru, Rumus Perhitungannya
7. Jaminan Sosial
Pengaturan jaminan sosial dalam UU Ciptaker jug berubah dari UU Ketenagakerjaan.
Jika dulu dalam UU Ketenagakerjaan perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun akan dikenakan sanksi pidana penjara dan/atau denda, dalam Ciptaker sanksi tersebut tidak berlaku.
8. PHK
Ketentuan terkait alasan PHK dalam Ciptaker bertambah, dari yang sebelumnya 9 sekarang menjadi 14. Berikut di antaranya:
- Perusahaan bangkrut
- Perusahaan tutup karena merugi
- Perubahan status perusahaan
- Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja
- Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
- Pekerja/buruh memasuki usia pensiun
- Pekerja/buruh mengundurkan diri
- Pekerja/buruh meninggal dunia
- Pekerja/buruh mangkir
- Perusahaan melakukan efisiensi
- Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
- Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
- Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
- Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan
Poin-poin Penting Putusan MK atas UU Cipta Kerja 2024
Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan sejumlah gugat terkait dengan UU Ciptaker yang diajukan kelompok buruh. Putusan itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023.
Putusan tersebut dibagi ke dalam beberapa klaster. Berikut ini 12 poin penting dalam putusan tersebut:
1. UU Ketenagakerjaan Dipisah dari UU Ciptaker
Di dalam putusannya, MK meminta pembuat undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru, terpisah dari UU Cipta Kerja.
Alasannya karena MK menilai ketentuan ketenagakerjaan dalam UU Ciptaker saat ini sulit untuk dipahami oleh pekerja dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta ketidakadilan.
Dengan pemisahan, diharapkan UU Ketenagakerjaan bisa lebih jelas, spesifik, dan fokus pada perlindungan hak-hak pekerja.
MK memberikan waktu dua tahun maksimal kepada pembentuk undang-undang untuk membuat UU Ketenagakerjaan baru. MK juga meminta pembuatan UU harus melibatkan partisipasi aktif dari serikat kerja dan buruh.
2. Pengutamaan Tenaga Kerja Indonesia Dibanding Asing
Beleid multitafsir yang tidak mengatur pembatasan masuknya tenaga asing di UU Ciptaker dibatalkan oleh MK.
Putusan MK akhirnya menegaskan bahwa TKA hanya boleh dipekerjakan untuk posisi tertentu, untuk jangka waktu terbatas, dan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan jabatan yang diduduki.
Selain itu, MK juga menambahkan klausul “dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia” pada Pasal 81 angka 4 UU Ciptaker.
3. Mempertegas Kontrak Kerja PKWT
Poin perubahan lainnya adalah terkait aturan durasi perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). MK memperjelas batas waktu maksimal kontrak PKWT adalah selama lima tahun, termasuk perpanjangannya.
Di UU Ciptaker sebelumnya memberikan fleksibilitas pada kontrak kerja. MK menggarisbawahi bahwa perjanjian kerja dibuat antara pihak pengusaha dan pekerja dalam kedudukan yang tidak seimbang.
Di dalam pasal tersebut, MK menilai pekerja berada di posisi yang lebih lemah dari pemberi kerja. Maka karena itu, MK menyatakan jangka waktu PKWT penting untuk diatur dalam UU, bukan peraturan turunan ataupun perjanjian lainnya.
4. Pembatasan Jenis Pekerjaan Outsourcing
Putusan MK juga meminta pemerintah untuk mengatur jenis dan bidang yang dapat dilakukan outsourcing.
Menurut MK, perlu ada standar yang jelas mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dapat dilakukan secara alih daya, sehingga para pekerja hanya akan bekerja outsourcing sesuai dengan yang telah disepakati.
Pembatasan ini diharapkan bisa menghindari penyalahgunaan praktik outsourcing yang sering kali memicu konflik antara pekerja dan perusahaan.
5. Opsi Libur Dua Hari
MK mengembalikan alternatif bahwa terdapat opsi libur 2 hari dalam seminggu, seperti yang diatur dalam undang-undang sebelumnya.
Di UU Ciptaker sebelumnya, aturan terkait libur hanya diberikan sehari per minggunya.
Dengan perubahan ini, perusahaan kini bisa kembali memberikan pilihan libur dua hari guna mendorong kesejahteraan pekerja dan menyesuaikan dengan standar yang sudah ada.
6. Upah Harus Mengandung Komponen Hidup Layak
Di dalam UU Ciptaker, penjelasan terkait komponen hidup layak pada pasal penghasilan/upah yang sebelumnya diatur UU Ketenagakerjaan dihilangkan.
Sesuai dengan putusan MK terbaru, pasal mengenai pengupahan UU Ciptaker harus memuat komponen hidup layak yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
Baca juga: 10 Fasilitas yang Diharapkan Karyawan Selain Gaji, Wajib Tahu
7. Mengaktifkan Kembali Dewan Pengupahan
MK menghidupkan kembali peran dewan pengupahan yang sebelumnya dihapus di UU Ciptaker, sehingga penetapan kebijakan upah ke depannya tidak lagi dilakukan sepihak di tangan pemerintah pusat.
MK menilai kebijakan upah harus melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah. Hal ini sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah pusat untuk menetapkan kebijakan upah.
Selain itu, MK juga melengkapi aturan soal dewan pengupahan pada UU Cipta Kerja dengan klausul dewan tersebut “berpartisipasi secara aktif”.
8. Skala Upah Harus Proporsional
MK menginstruksikan perlunya menambahkan frase “yang proporsional” di dalam pasal UU Ciptaker yang mengatur upah untuk melengkapi frasa “struktur dan skala upah”.
MK juga memperjelas frasa “indeks tertentu” dalam pengupahan sebagai variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan perekonomian provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak pekerja.
9. Upah Minimum Sektoral Berlaku Lagi
UU Ciptaker menghapus ketentuan upah minimum sektoral (UMS). Namun, kebijakan tersebut dinilai MK tidak memberikan perlindungan memadai bagi para pekerja.
Sehingga, MK menegaskan UMS harus kembali diberlakukan karena ada beberapa sektor pekerjaan yang memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda, sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diberlakukan.
Baca juga: Sah! UMP dan UMK 2025 Naik 6,5 Persen, Ini Daftarnya di 38 Provinsi
10. Peran Serikat Pekerja dalam Pengupahan
MK memutuskan untuk mengembalikan peran serikat pekerja dalam perumusan upah yang di atas minimum.
Sebelumnya, UU Ciptaker menghilangkan peran serikat pekerja dalam penerapan upah, ini menyebabkan ketidakseimbangan antara pekerja dan perusahaan dalam negosiasi upah.
Dengan terlibatnya serikat pekerja, pengaturan upah diharapkan bisa lebih adil dan mempertimbangkan berbagai faktor seperti masa kerja, jabatan, dan kompetensi.
11. PHK Baru Hanya Bisa Dilakukan Setelah Putusan Inkrah
MK memutuskan bahwa PHK hanya bisa dilakukan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Dengan putusan ini, maka proses PHK harus didahului dengan musyawarah antara karyawan dan perusahaan untuk mencapai kesepakatan yang adil.
12. Batas Bawah Penghargaan Masa Kerja (UPMK)
Poin berikutnya adalah bahwa Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) dalam UU Ciptaker adalah batas minimum.
Dengan begini pekerja bisa menerima penghargaan yang layak atas masa kerja yang telah dilewati.
Daftar 21 Pasal UU Cipta Kerja yang Direvisi MK
Ada sekitar 70 pasal UU Ciptaker yang digugat, namun MK hanya mengubah 21 pasal.
Berikut ini pasal UU Cipta Kerja 2024 hasil revisi sesuai putusan MK:
1. Menyatakan frasa “Pemerintah Pusat” dalam Pasal 42 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “menteri yang bertanggungjawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu menteri Tenaga Kerja”;
2. Menyatakan Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU 6/2023 yang menyatakan “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia”;
3. Menyatakan Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UU 6/2023 yang menyatakan “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan”;
4. Menyatakan Pasal 57 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 13 Lampiran UU 6/2023 yang menyatakan “Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat tertulis serta harus menggunakan secara Bahasa Indonesia dan huruf latin”, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”;
5. Menyatakan Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UU 6/2023 yang menyatakan, “Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya”;
6. Menyatakan Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023 yang menyatakan, “istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa, “atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”;
7. Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 79 ayat (5) dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
8. Menyatakan Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023 yang menyatakan “Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”;
9. Menyatakan Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023 yang menyatakan, “Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan”;
10. Menyatakan frasa “struktur dan skala upah” dalam Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “struktur dan skala upah yang proporsional”;
11. Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”;
12. Menyatakan frasa “indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat (2) dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”;
13. Menyatakan frasa “dalam keadaan tertentu” dalam Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
14. Menyatakan Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 Lampiran UU 6/2023 yang menyatakan “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan”, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan”;
15. Menyatakan Pasal 92 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 33 Lampiran UU 6/2023 yang menyatakan, “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas”, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi”;
16. Menyatakan Pasal 95 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 36 Lampiran UU 6/2023 yang menyatakan, “Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan”, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan”;
17. Menyatakan Pasal 98 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 39 Lampiran UU 6/2023 yang menyatakan, “Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan”, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif”;
18. Menyatakan frasa “wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh”, dalam Pasal 151 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh”;
19. Menyatakan frasa “pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial” dalam Pasal 151 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap”;
20. Menyatakan frasa “dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya” dalam norma Pasal 157A ayat (3) dalam Pasal 81 angka 49 Lampiran UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI”;
21. Menyatakan frasa “diberikan dengan ketentuan sebagai berikut” dalam Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “paling sedikit”.
Baca juga: 6 Poin Penting UU Ketenagakerjaan yang Wajib Dipahami Perusahaan
Dengan adanya UU Cipta Kerja terbaru ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan meningkatkan kesejahteraan para pekerja/buruh.
Salah satu poin yang diatur dalam UU Cipta Kerja 2024 adalah tentang pengutamaan tenaga kerja Indonesia dibanding tenaga asing. Dalam hal ini, penting bagi perusahaan memastikan tenaga kerja yang direkrut memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Salah satu caranya adalah dengan mengoptimalkan proses rekrutmen. Proses rekrutmen yang optimal akan membuat pekerjaan HR jauh lebih mudah, sehingga untuk menemukan calon karyawan terbaik tidak diperlukan waktu yang lama.
Anda bisa coba menggunakan fitur Premium Rekrutmen KitaLulus. Fitur ini didukung teknologi AI yang bisa menyederhanakan proses perekrutan karyawan sehingga menjadi lebih efektif dan efisien.
Hanya dalam satu dasbor perusahaan, Anda bisa mengelola seluruh lamaran yang masuk dengan lebih mudah. Ayo coba sekarang juga!